PERLAHAN namun pasti, degradasi kualitas lingkungan tempat kita berpijak di muka bumi ini lambat laun mengalami tahapan mengkhawatirkan. Bukan tidak mungkin ambang kritis yang tidak diharapkan terjadi seiring berlalunya waktu dan semakin melampaui batas segala aktivitas manusia terhadap lingkungan sekitarnya.
Tragedy of The Common merupakan cerita awal di mana lonjakan akan kebutuhan akan manusia semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Dalam peristiwa tersebut digambarkan bahwa semua yang ada di bumi merupakan hak kepemilikan privat, yang dapat digunakan sekehendak kemauan manusia, sehingga terjadilah akusisi akan segala sumber daya alam mutlak dikelola manusia. Sebuah langkah konkret yang dapat dilakukan pada waktu tersebut adalah regulasi berupa pembatasan pemanfaatan sumber daya alam di luar kendali.
Belum kunjung tragedi itu selesai, timbulah permasalahan baru, dalam sebuah bukunya, Rachel Carson (1962) menulis terkait fenomena alam di saat musim semi, yang kita terkenal dengan judul Silent Spring. Rachel bercerita tentang sebuah sindiran dan kritik sosial terhadap penggunaan pestisida (DDT) yang terjadi di Amerika Serikat.
Fenomena yang terjadi saat itu adalah keadaan di musim semi begitu sunyi. Bagaimana tidak, rantai ekosistem terganggu dengan penggunaan DDT (pestisida). Pada mulanya, pestisida dianggap ramuan ajaib. Namun pada akhirnya, secara sistemik rantai makanan di alam secara siklik lenyap dengan beberapa sebab, salah satunya hilangnya posisi organisme dalam suatu ekosistem.
Dari situlah pada 5 Juni 1972 di Stockholm dicetuskan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, menimbang telah begitu mengkhawatirkanya keadaan lingkungan hidup di bumi. Hal ini tidak terlepas begitu saja dari pencetusan hari Bumi pada 22 April 1970.
Dari hal di atas kita telah melihat bagaimana para pendahulu aktivis lingkungan telah begitu matang mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di muka bumi. Sebuah rumusan jangka panjang untuk keberlangsungan hidup anak cucu mereka kelak, telah jauh-jauh hari mengkritisi masalah lingkungan yang niscaya akan terjadi. Lalu sebuah perenungan dalam untuk mentransformasi lebih jauh segala tindakan yang perlu dilakukan pada kurun waktu akhir-akhir ini.
Pada era sekarang, problematika lingkungan semakin rumit dan kronis, serta membutuhkan kesadaran semua pihak dalam berpikir dan bertindak cerdas untuk upaya penyelamatan lingkungan. Paradigma yang dikembangkan sekarang, bukanlah lagi lingkungan untuk manusia, namun manusia untuk lingkungan hidupnya. Walaupun pada hakekatnya manusia sebagai pemimpin dan penguasa bumi namun tetaplah memiliki kewajiban dan tugas sebagai penyejahtera alam dan lingkunganya.
Sudah saatnya kita berpikir bijak akan kemampuan bumi dan lingkungan hidup menopang kebutuhan manusia. Bukan hanya dengan cara-cara instan tetapi ruang lingkup yang lebih global dengan tindakan konkret dan pasti (Act Locally think globally). Sebuah langkah kecil namun berarti. Sebuah langkah sederhana namun berkelanjutan dan berkesinambungan. Sebuah gerakan yang memiliki nilai positif dan nyata dalam aplikasinya.
Masih ada berjuta optimisme, di tengah keterpurukan kondisi lingkungan hidup yang akut ini. Tentunya kita bukanlah makhluk egois yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan masa depan keturunan kita kelak, demi sebuah orientasi jangka pendek semata. Kesejahteraan semu yang tak lestari bahkan dapat dikatakan tidak berkelanjutan.
Gagasan sustainable management untuk segala kegiatan yang dapat berimbas langsung terhadap lingkungan perlu diintensifkan untuk investasi jangka panjang merupakan suatu hal yang tak ternilai harganya. Investasi untuk bumiku sayang.
Tragedy of The Common merupakan cerita awal di mana lonjakan akan kebutuhan akan manusia semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Dalam peristiwa tersebut digambarkan bahwa semua yang ada di bumi merupakan hak kepemilikan privat, yang dapat digunakan sekehendak kemauan manusia, sehingga terjadilah akusisi akan segala sumber daya alam mutlak dikelola manusia. Sebuah langkah konkret yang dapat dilakukan pada waktu tersebut adalah regulasi berupa pembatasan pemanfaatan sumber daya alam di luar kendali.
Belum kunjung tragedi itu selesai, timbulah permasalahan baru, dalam sebuah bukunya, Rachel Carson (1962) menulis terkait fenomena alam di saat musim semi, yang kita terkenal dengan judul Silent Spring. Rachel bercerita tentang sebuah sindiran dan kritik sosial terhadap penggunaan pestisida (DDT) yang terjadi di Amerika Serikat.
Fenomena yang terjadi saat itu adalah keadaan di musim semi begitu sunyi. Bagaimana tidak, rantai ekosistem terganggu dengan penggunaan DDT (pestisida). Pada mulanya, pestisida dianggap ramuan ajaib. Namun pada akhirnya, secara sistemik rantai makanan di alam secara siklik lenyap dengan beberapa sebab, salah satunya hilangnya posisi organisme dalam suatu ekosistem.
Dari situlah pada 5 Juni 1972 di Stockholm dicetuskan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, menimbang telah begitu mengkhawatirkanya keadaan lingkungan hidup di bumi. Hal ini tidak terlepas begitu saja dari pencetusan hari Bumi pada 22 April 1970.
Dari hal di atas kita telah melihat bagaimana para pendahulu aktivis lingkungan telah begitu matang mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di muka bumi. Sebuah rumusan jangka panjang untuk keberlangsungan hidup anak cucu mereka kelak, telah jauh-jauh hari mengkritisi masalah lingkungan yang niscaya akan terjadi. Lalu sebuah perenungan dalam untuk mentransformasi lebih jauh segala tindakan yang perlu dilakukan pada kurun waktu akhir-akhir ini.
Pada era sekarang, problematika lingkungan semakin rumit dan kronis, serta membutuhkan kesadaran semua pihak dalam berpikir dan bertindak cerdas untuk upaya penyelamatan lingkungan. Paradigma yang dikembangkan sekarang, bukanlah lagi lingkungan untuk manusia, namun manusia untuk lingkungan hidupnya. Walaupun pada hakekatnya manusia sebagai pemimpin dan penguasa bumi namun tetaplah memiliki kewajiban dan tugas sebagai penyejahtera alam dan lingkunganya.
Sudah saatnya kita berpikir bijak akan kemampuan bumi dan lingkungan hidup menopang kebutuhan manusia. Bukan hanya dengan cara-cara instan tetapi ruang lingkup yang lebih global dengan tindakan konkret dan pasti (Act Locally think globally). Sebuah langkah kecil namun berarti. Sebuah langkah sederhana namun berkelanjutan dan berkesinambungan. Sebuah gerakan yang memiliki nilai positif dan nyata dalam aplikasinya.
Masih ada berjuta optimisme, di tengah keterpurukan kondisi lingkungan hidup yang akut ini. Tentunya kita bukanlah makhluk egois yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan masa depan keturunan kita kelak, demi sebuah orientasi jangka pendek semata. Kesejahteraan semu yang tak lestari bahkan dapat dikatakan tidak berkelanjutan.
Gagasan sustainable management untuk segala kegiatan yang dapat berimbas langsung terhadap lingkungan perlu diintensifkan untuk investasi jangka panjang merupakan suatu hal yang tak ternilai harganya. Investasi untuk bumiku sayang.
Chandra Nur Triwiyanto
Jurusan Silvicultur, dan
Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada
Jurusan Silvicultur, dan
Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada